Jamuan Makan Raja Minangkabau

Jamuan Makan Raja Minangkabau

Apakah yang terbayang tentang jamuan makan yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi untuk menjamu tamu-tamu mereka?

Tentulah sebagian besar akan menjawab layaknya sebuah adegan film, makanan yang disajikan begitu berlimpah, dibawa dengan iring-iringan pelayan berbusana resmi saat menyajikan makanan. Layaknya jamuan makan ala Eropa. Makanan yang dihadirkan berurutan dari makanan pembuka hingga makanan penutup dengan minum teh atau kopi. Jamuan makan seperti ini bisa disebut juga dengan “Rijsttafel”. Dalam buku yang dikarang oleh Fadly Rahman dengan judul Rijsttafel bisa dilihat gambaran seperti apa jamuan makan yang dibawa oleh Belanda.

Kemudian kita akan berpikir apakah Indonesia yang dahulu terkenal dengan banyaknya kerajaan juga melakukan jamuan makan untuk tamu-tamu kehormatannya? Bagaimana dengan Jamuan Makan Raja Minangkabau?

BUDAYA BERTUTUR

Budaya bertutur memang lebih melekat pada masyarakat Minangkabau. Ada yang berpendapat karena bertutur terasa lebih personal hingga lebih cepat masuk dan diterima.

Dari petatah petitih kita diminta untuk membaca yang tersirat dari yang tersurat. Ketika kemudian ada pertanyaan datang, “Seperti apa jamuan makan ala Raja-raja Minangkabau?” atau “Apakah masih ada Raja di Minangkabau, seperti kita mengenal Sultan di Daerah Istimewa Yogjakarta?” maka untuk pertanyaan pertama akan langsung dijawab “Tentu saja ada, bacalah petatah petitih” dan untuk jawaban kedua akan didapat jawaban “ Minangkabau mengenal 3 orang Raja, bukan hanya satu orang”

Tentunya lebih menarik untuk diceritakan. Ditambah lagi ada kisah tentang Raja Adityawarman yang pernah menjadi Raja Pagaruyung sebelum kita mengenal 3 Raja yaitu Tungku Tigo Sajarangan.

Raja Adityawarman

Adityawarman pernah berkuasa di daerah Dharmasraya, yang beredekatan dengan Jambi. Cerita tentang Raja yang di “dewa” kan dengan penemuan patung paling besar yang bisa kita temukan di Museum Nasional, dengan berat 4 ton dan tinggi 4,41 meter menjadi langkah pertama untuk mencari tahu lebih jauh tentang jamuan makan yang bisa ditelusuri dari patung tersebut.

Beberapa tulisan tentang patung ini menggambarkan patung tersebut berhubungan dengan upacara Budha Tatrayana yang dilakukan untuk mencapai titik tertinggi. Ada empat hal yang bisa didapat dari perwujudan itu, dua diantaranya adalah Makan dan Minum sepuasnya.

Namun, bagaimana dengan anak dan keturunan dari Raja Adityawarman?

Seperti yang sudah dituliskan diawal, seiring dengan kepindahan Adityawarman ke daerah Batusangkar, maka kemudian Minangkabau mengenal tiga orang Raja, yang dikenal dengan Rajo Tigo Selo atau Raja Tiga Sila.

Tiga orang inilah yang kemudian meneruskan kekuasaan memerintah wilayah Minangkabau. Rajo Tigo Selo adalah tiga orang raja yang memegang wilayah dan juga mempunyai kekuasaan untuk menyelesaikan perkara yang tidak dapat diselesaikan oleh para peghulu dan kadi. Tiga orang Raja ini dikenal dengan Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung, Raja Adat di Lintau Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Mereka bertiga sesungguhnya menjadi satu kesatuan dan saling melengkapi.

Raja Adat di Buo/Penyambutan – Sirih dalam carano

Thomas Diaz adalah orang asing pertama yang bisa sampai ke kerajaan Raja Adat sekitar tahun 1684. Dari catatan perjalanannya, yang disusun oleh Anthony Reid dalam buku Sumatra Tempo Dulu, kita bisa membayangkan sedikit bagaimana luasnya wilayah kerajaan Raja Adat di Buo dan bagaimana seorang Raja memperlakukan tamunya.

Thomas Diaz disambut dengan kawalan 4000 rombongan kerajaan dan mengawalnya untuk bertemu dengan raja. Sambil menunggu Raja, Thomas Diaz ditawarkan daun sirih yang ditaruh di baki besar perak.

Penyambutan tamu dengan sirih dalam carano hingga kini masih dilakukan untuk berbagai acara adat di Minangkabau seperti pengangkatan penghulu (kepala kaum), pernikahan, dan acara adat lainnya.

Apa saja isi carano itu selain daun sirih? Kita akan mendapati kapur, gambir dan tembakau. Semua harus lengkap, karena jika saja tidak lengkap, karena ini merupakan penghormatan tuan rumah kepada tamu yang datang. Jamuan Makan Raja Minangkabau *

Raja Ibadat dari Sumpur Kudus/Bawaan dan Penerimaan

“Kami mengeluarkan perangkat makan yang paling baik untuk menjamu tamu” itu yang disampaikan oleh Fitri Setyani yang masih mempunyai tali kekerabatan dengan Raja Siguntur yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Dharmasraya setelah Adityawarman hijrah menuju Pagaruyung.

Fitri melanjutkan cerita ketika ia melaksanakan pernikahan dan menerima keluarga yang menjunjung dulang diatas kepala. Dulang ini ada dua macam, satu berisi samba, biasanya berisi nasi dan lauk-pauk, sedangkan satu dulang lagi berisi kue-kue yang mereka buat sendiri untuk dijadikan hantaran.

Dulang ini akan diterima oleh bundo kanduang dari tuan rumah, diletakkan dalam rumah gadang. Yang menarik, ketika acara pernikahan Fitri digelar, ada keluarga yang membawa dulang yang berisi ketan 3 warna berbentuk gunung yang ujungnya ditancapkan bambu-bambu berhiaskan uang.

PERSIAPAN MEMASAK SEBELUM ACARA

Persiapan untuk baralek sudah jauh-jauh hari, para Niniak Mamak dan Bundo Kanduang sudah menyiapkan daftar belanja, dan apa saja yang akan disajikan.

Kerbau sudah dipotong untuk dimasak menjadi rendang. Dangau atau gubuk sudah didirikan untuk menjadi tempat berteduhnya para pemasak. Dangau ini didirikan agar para pemasak terlindung dari panas matahari dan air hujan.

Kita tahu jika pria mendominasi profesi Chef, maka di Minangkabau juga laki-laki yang akan menjadi juru masak untuk acara-acara adat. Mereka mengenal dengan begitu detail-nya bumbu yang digunakan untuk memasak gulai kambing, gulai rabuang sampai rendang.

Jika para pria atau Mamak yang memasak lauk atau samba, lalu apa saja yang disiapkan oleh kaum wanita? Mereka biasanya menyiapkan hidangan penutup, memarut kelapa, dan mempersiapkan perangkat makan. Kegiatan memasak ini menjadi pemersatu keluarga. Tetangga yang rumahnya berdekatan atau yang menjadi satu kaum berkumpul saling membantu.

Fitri lebih lanjut menceritakan, sewaktu keluarganya berkumpul dan memasak untuk perhelatan pernikahan, di dekat area dapur akan dipasang gong yang dibunyikan dengan maksud memberi semangat keluarga yang bertugas memasak. Karena ia adalah salah satu pewaris kerajaan dan menjadi maka gong yang dipakai dipinjam dari Istana Siguntur.

Tungku Tigo Sajarangan

Kemudian pertanyaan selanjutnya, “lauk apa saja yang akan dimasak?” Coba baca petatah petitih berikut yang diambil dari buku Pantun Adat Minangkabau dikumpulkan oleh N.M. Rangkoto, tahun 2011.

Takato samba randang Minang
Dagiang sakati bakalio
Kalio dimasak jadi randang
Alun dikinyam lah maraso

Gulainyo cukuik lauak pauak
Lah tasadio langkok-langkoknyo
Nan saratuih pamasak masuik
Linang guminang malah kuahnyo

Satitiak jatuahnyo kuah
Jatuah ka nasi dalam pinggan
Sapinggan nasi nan basah
Kanyang nan indak rago makan

Alun dikinyam lah maraso
Raso nan Jimek dalam tubuh
Alun disuok lah badaso
Kalau disuok nak batambuah

Dalam bait kedua digambarkan kalau lauk pauk yang akan disajikan cukup banyak tersedia, dari lauk hingga pelengkapnya yaitu makanan penutup yang berupa wajik ketan bergula aren, ketan srikaya, atau kue-kue bolu yang khusus dibuat oleh Bundo Kanduang atau kiriman dari Sapangka, yaitu keluarga dekat. Lauk yang disajikan haruslah lengkap atau langkok, yaitu terdiri dari Daging, Ayam, Ikan.

Ayam dimasak singgang yaitu ayam bakar, Ikan dimasak pangek masin atau gulai kuning.

Rendang yang menjadi makanan kebanggaan dipastikan hadir. Rendang ini dimasak perlahan karena jumlahnya cukup banyak, maka proses masak memakan waktu hingga dua hari.

Masing-masing daerah kemudian menyajikan Rendang yang menjadi ciri khas wilayah mereka. Daerah Batusangkar tempat Istana Pagaruyung dan Istana Lindung Bulan berada menyajikan Rendang Daging dan Rendang Belut yang dicampur dengan beraneka tumbuhan. Ada lebih dari 40 jenis daun yang dapat direndang, bahkan bisa mencapai ratusan.

Makanan yang dihidangkan juga memiliki arti yang sangat dalam, Pinto Anugrah yang juga seorang pemuka adat dengan gelar Datuk Perpatih dari Nagari Sungai Tarab dengan tempat kedudukan Panitahan, Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung menceritakan bahwa ada dua samba atau lauk yang dihidangkan untuk sebuah jamuan adat, yaitu Rendang daging dan Gulai Daging dengan Pucuk rebung. Mengapa pucuk rebung? Karena pucuk rebung mempunyai nilai filosofi yang begitu dalam yaitu lambang kehidupan berguna. Evolusi bambu mewakili proses kehidupan manusia menjadi seseorang yang berguna karena semua bagian dari bambu dapat dipakai

Setelah semua bahan makanan sudah tersedia, maka proses memasak dapat dimulai. Seperti Rajo Tiga Selo yang saling melengkapi, maka dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Minangkau dikenal juga Tungku Tigo Sajarangan, yaitu seimbangnya kehidupan sehari-hari dengan 3 orang pemimpin yaitu Niniak Mamak, Cadiak Pandai, dan Alim Ulama.

Falsafah ini kemudian juga dipakai ketika proses memasak, yaitu keseimbangan. Batu yang diatur hingga menyerupai segitiga menjadi pengokoh kedudukan kuali saat memasak dan memuat ruang yang cukup untuk kayu bakar. “Basilang kayu dalam tungku disitu api manko iduik”. Bersilang kayu dalam tungku disitulah api akan hidup. Artinya semua tidak saling menonjolkan diri, namun saling melengapi agar tercapai keselarasan. Terbayang bagaimana semua unsur saling terkait dengan nilai kehidupan yang begitu dalam untuk acara sebuah jamuan makan.

Penyajian

Jamuan Makan Raja Minangkabau * Ada dua cara penyajian makanan dalam sebuah jamuan, yaitu dikenal dengan Makan Baedang atau Makanan yang terhidang dengan deretan piring-piring di depan tamu, dan Makan Bajamba.

Jika pilihan jamuan dengan gaya makan baedang, maka tamu akan duduk mengelilingi taplak atau alas makan kain putih panjang yang tergelar di dalam Rumah Gadang. Deretan piring makan berikut gelas minum, dan kabasuah atau tempat mencuci tangan disiapkan sebanyak tamu yang akan makan. Di barisan dalam piring akan terhidang lauk pauk juga pilihan makanan penutup.

Makan Bajamba merupakan tata cara makan dengan satu buah piring besar yang disebut pinggan atau tampian (berbeda di tiap daerah). Satu piring besar biasanya untuk satu kelompok yang terdiri dari lima sampai tujuh orang.

Lain lagi jika pilihan jamuan menggunakan gaya Makan Bajamba. Beberapa daerah di Minangkabau memakai Makan Bajamba untuk menjamu tamu-tamu kehormatan dalam acara-acara adat seperti pengangkatan Datuk.

Beragam hidangan yang sudah disiapkan kemudian diletakkan dalam dulang atau talam. Untuk para tetua adat atau tamu yang ditinggikan kedudukan maka mereka mendapatkan keistimewaan yaitu satu dulang lengkap yang berisi nasi, sama atau lauk, dan air minum serta makanan penutup.

Sedangkan untuk tamu lainnya, sudah disiapkan dulang yang berisi nasi dan lauk pauk untuk disantap dengan beberapa orang. Setidaknya ada dua porsi dalam satu dulang berikut porsi nasi untuk tambahan.

Ada lagi yang menarik, di Nagari Koto Gadang, nasi dihidangkan dalam piring yang berukuran besar, dan ditemani piring-piring kecil yang berisi lauk. Satu piring besar untuk dimakan 2 sampai 4 orang. Mereka duduk mengelilingi piring dan mengambil lauk yang mereka sukai. Ada batas tak kasat mata ketika menyantap hidangan, sehingga tidak ada kesan berebut, atau mengambil nasi dari ‘wilayah’ teman satu pinggan.

Tata Cara Duduk

Maka, ketika hari yang dinanti tiba, dan tamu sudah mulai berdatangan, di halaman rumah sudah didirikan tenda besar untuk tamu beristirahat dan berkumpul sebelum mereka menaiki janjang Rumah Gadang.

Semua tamu terutama tetua adat sudah hadir dengan pakaian kebesaran mereka. Untuk Datuk mereka berbusana celana batik, kemeja putih dibalut jas, sampiran sarung di pundak dan saluak sebagai penutup kepala. Sedangkan tamu wanita memakai baju kurung, takuluak sebagai penutuk kepala.

Akhirnya para tamu dipersilahkan menaiki tangga rumah. Untuk kaum wanita yang membawa dulang akan disambut oleh tuan rumah dengan mengambil dulang, dan mempersilahkan mereka duduk diatas rumah disebelah dalam atau tempat yang lebih tinggi disebut sitindiah.

Sedangkan untuk tamu laki-laki mereka akan ditempatkan di dalam rumah gadang bagian bawah. Mereka akan duduk berhadapan dengan bersila, karena duduk bersila disebut juga dengan duduk beradat. Dilarang menekuk lututnya. Tidak ada kursi saat makan diatas Rumah Gadang.

Tempat duduk tamu ditentukan dalam ukuran dalam kekerabatan. Jika mereka dalam satu keturunan maka dipersilahkan untuk duduk membelakangi dinding depan Rumah Gadang. Mamak rumah (laki-laki yang menjadi tuan rumah) menghadap ke pintu bilik, dilarang duduk dekat dengan bilik. Lain lagi dengan orang Sumando, atau orang yang terikat karena tali perkawinan, ia akan duduk diruang tengah, menghadap ke pintu keluar.

Jika semua tamu sudah duduk, mulailah masuk para penyaji makanan yang semuanya adalah laki-laki. Mereka disebut dengan nama panggilan Janang. Para Janang ini biasanya berbusana celana batik, baju koko, dan kopiah. Bergantian mereka memasuki areal dalam tempat para tamu duduk untuk menempatkan makanan yang sudah disiapkan. Beraneka samba, kue-kue juga buah-buah seperti pisang raja dengan bentuk sempurna hingga nasi untuk porsi tambahan disiapkan. – Jamuan Makan Raja Minangkabau *

Pantun Pengantar Dan Penutup Jamuan Makan

Ketika semua sudah terhidang, apakah bisa langsung disantap?

Dalam Adat Minangkabau, belum lengkap sebuah jamuan jika belum diawali dengan proses petatah petitih atau pasambahan makan. Dari begitu panjang dan menariknya petatah petitih pasambahan dalam rangkuman Pantun Adat Minagkabau N.M. Rangkoto, begini kira-kira sedikit baitnya diakhir..

Kalau baitu kato tuan
Sananglah pulo hati kami
Tuan makan kami kawankan
Basuhlah jari nan limo
Dengan bismillah kito mulai.

Petatah petitih ini akan berlanjut ketika ditengah makan tuan rumah mempersilahkan para tamu untuk tidak ragu menambah nasinya, dan ketika akhir acara makan saat para tamu bersiap pamit.

Bapilin tareh dipijakkan
Manggapai-gapai tak baranjak
Masin jo padeh pabauakan
Di sinan gulai mangkonyo lamak

Ko ado sumua di ladang
Ka bakeh kito barulang mandi
Ko ado umua samo panjang
Insya Allah disambuang kaji.

Selamat makan.

Jamuan Makan Raja Minangkabau. Tulisan ini pernah dimuat di majalah Femina.

Tentang Photographer:
EJK – Erison J. Kambari Penghobi Fotografi/Bukittinggi-Sumbar
Instagram @erisonjkambari

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *